Home » , » Kebenaran Substantif, Bukan Hasil Pencitraan

Kebenaran Substantif, Bukan Hasil Pencitraan

Posted by Ujaran on Saturday, August 12, 2017

pencitraan, jokowi, sederhana, palsu, pemimpin, presiden

[ujaran.com] — Jahiliah adalah era yang disematkan oleh sejarawan Muslim untuk menggambarkan kondisi bangsa Arab pra-kenabian. Ada banyak makna jahiliah yang muncul, diantaranya tidak pandai tulis baca, dengan bukti, kuatnya tradisi oral dan minus karya tulis. Makna yang lain adalah bangsa yang tidak memiliki kitab suci, berbeda dengan orang Yahudi yang memiliki Taurat. 

Apapun maknanya, satu hal yang perlu diingat adalah bahwa di tengah kondisi ‘jahiliah’ tersebut, masyarakat Arab masih berpegang teguh pada konsep kehormatan diri. Salah satu dasar kehormatan itu adalah kejujuran. Bagi mereka, kejujuran adalah ‘harga mati’. Oleh sebab itu, orang yang ‘amin’ (terpercaya) dan 'siddiq' (benar), akan mendapat status yang tinggi, walau masih belia. 

Nabi mencapai status tersebut sebelum diangkat menjadi Rasul. Salah seorang sahabat Nabi bahkan bersumpah: ‘Jika Yang di langit membolehkan bohong, demi Allah aku tetap tidak akan berbohong’. Dalam suatu riwayat, juga diceritakan tentang seseorang yang masuk Islam dan bertanya pada Rasul apa yang tidak boleh ia lakukan. Rasul hanya menjawab: ‘jangan bohong’. 

Kejujuran adalah substansi kehormatan diri ,dan social trust terbentuk dari akumulasi individu-individu yang jujur. Kebenaran dan perilaku yang benar biasanya muncul dari orang yang jujur. Dalam konteks itu, rendahnya social trust suatu masyarakat memiliki korelasi positif dengan rendahnya tingkat kejujuran masyarakat tersebut. 

Maka, jangan pernah bicara demokrasi di negeri ini jika kejujuran masih langka dan social trust masih dalam mimpi. Orang yang jujur sangat dekat dengan ikhlas, sebab kejujuran pada hakekatnya adalah membenarkan bisikan nurani yang bening ke dalam perbuatan yang nyata. Oleh sebab itu, kejujuran dan keikhlasan selalu melahirkan kebaikan. Kita tidak pernah mendengar orang yang menipu dengan ikhlas dan jujur, sebab itu dua hal yang kontradiktif.
    
Di masyarakat yang ikhlas, melakukan suatu perbuatan disertai pencitraan dengan tujuan untuk membentuk ‘opini kebenaran’ untuk kepentingan pribadi sungguh sangat memalukan. Makanya Khalifah Umar melakukan sidak kondisi rakyatnya di malam hari, tanpa diiringi seorang penyair yang akan menggubah syair menceritakan tentang ‘merakyatnya’ Umar kepada seluruh penjuru Arabia. Kalau Umar melakukan itu, ia telah melawan prinsip keikhlasan dan kejujuran dalam dirinya, dan secara sosial, ia pasti dicemooh oleh rakyatnya. 

Pencitraan hanya berfungsi dengan baik dalam masyarakat yang memang penuh pamrih, dangkal keikhlasan atau budak penghasilan. Umar mampu melakukan itu, karena kejujuran dan keikhlasan telah begitu kokoh menjadi fondasi kehormatan dirinya. Oleh sebab itu, perilaku-perilaku orang yang jujur dan ikhlas, seperti Umar di atas, selalu melahirkan kebenaran yang substantif, bukan hasil relasi kuasa.

'Merakyatnya’ Umar adalah merakyat yang substantif; miskinnya Umar adalah miskin yang lahir dari keteguhan, empati dan tanggungjawab  yang sangat dalam pada kondisi rakyat; kebijakan Umar adalah kebijakan yang melahirkan kebenaran yang substantif, bukan politis demi pencitraan. Belajar dari sini, aku meyakini bahwa kebaikan-kebaikan semu, dilakukan dengan tujuan untuk pencitraan adalah salah satu sumbangan yang paling nyata dalam proses rusaknya bangsa ini, apalagi hal itu dilakukan oleh para figur publik.

Kebenaran hasil pencitraan bukanlah kebenaran substantif, tapi lebih dari hasil relasi kuasa, tumbuh subur dalam masyarakat yang memang minus kehormatan dan kejujuran. Kuasa yang paling dominan dalam membentuk kebenaran adalah state. Karena itu, membiarkan state membentuk image, opini, tanpa ada balance akan menciptakan jarak pengetahuan dan kebenaran antara the mass dengan elit politik karena tidak adanya sharing dalam proses pemaknaan. Elit politik yang begitu akrab dengan kebenaran artifisial hasil pencitraan, dengan kuasa yang mereka miliki, telah berusaha untuk menjadikan kebenaran yang mereka bentuk menjadi substantif. 

Apa dampaknya? Kebenaran yang ambigu. Maka kita melihat bagaimana dalam memahami fakta dan berbagai kasus, kita terjebak pada konsep-konsep yang dalam banyak hal ambigu, karena memang proses terbentuk atau penggunaan konsep tersebut bukan untuk menjelaskan kebenaran yang sesungguhnya, tapi untuk memonopoli kebenaran yang dibentuk melalui relasi kuasa. Elit politik akan semakin leluasa melakukan hal itu jika didukung oleh sebagian masyarakat yang berpikiran ideologis. 

Penjelasan pola pikir ideologis yang paling gamblang adalah ketika saya berasumsi bahwa ‘whatever I think is a natural process’, dan pada saat yang sama menuduh yang lain tidak natural.

Wallahu a’lam.
Sydney, 7 Agustus 2017.



Andri Rosadi (Sosiolog)
Alumnus PM Gontor saat ini sebagai kandidat doktor sosiologi dari Western Sydney University. S2 Sosiologi diraihnya dari Pascasarjana UGM. Sedangkan S1 dari Al-Azhar University Kairo jurusan Sejarah dan Peradaban



Scrool ke bawah untuk berita, info, artikel, unik dan seru lainnya di ujaran.com

Thanks for reading & sharing Ujaran

Previous
« Prev Post

0 comments:

Post a Comment