Home » , » ANEH... Aksi Nekat Saracen

ANEH... Aksi Nekat Saracen

Posted by Ujaran on Tuesday, August 29, 2017

sosial media, saracen, hoax, hoaks, uu ite, internet, cyber, teroris, berita, opini, ujaran, kebencian

[ujaran.com] — Agak aneh mengapa sindikat penyebar kebencian seperti Saracen masih berani menerima atau menawarkan jasa sebagai penyebar kebencian di media sosial. Bukankah jelas-jelas ada UU ITE yang bisa mempidanakan siapa saja yang menyebarkan kebencian?

Juga agak aneh mengapa masih ada pihak yang berani menggunakan jasa seperti Saracen. Bukankah dengan digital forensic, kepolisian mudah meringkuk mereka?

Keberanian sindikat Saracen dapat dikategorikan sebagai keberanian tidak masuk akal. Sebab, sebagai pemain di bidang media sosial (medsos), mereka diyakini mengerti Undang-Undang Nomor 11 Tentang Informasi dan Tranksaksi Elektronik (ITE).

Dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE jelas-jelas dinyatakan bahwa, Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).   

Ancaman pidana dari Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UU ITE yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah). 





Rasanya mustahil mereka tidak mengerti UU ITE beserta hukuman bagi yang melanggar. Sebab korbannya sudah banyak. Sebut misalnya seorang warga Jagakarsa, Jakarta Selatan berinisial AT, (41 tahun), yang ditangkap polisi karena menyebarkan ujaran kebencian di sosial media terkait ricuh di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Dalam pernyataannya, polisi menyebut AT menyebarkan ujaran kebencian di akun Facebook pribadinya dan ditulis pada Minggu, 31 Juli 2016.

Baca juga: SOSIAL MEDIA: Diam-Diam Menghanyutkan

Kemudian  Dwi Estiningsih, yang mencuitkan gambar 5 pahlawan nasional sebagai kafir. Peristiwanya tahun 2016. Dwi Estiningsih ketika mencuit di akun Twitternya dan mempersoalkan lima pahlawan nasional non-muslim yang gambarnya masuk di mata uang rupiah baru dan menyebutnya sebagai kafir.

“Luar biasa negeri yang mayoritas Islam ini. Dari ratusan pahlawan terpilih 5 dari 11 adalah pahlawan kafir #lelah,” tulis Dwi yang juga menyertakan link berita dalam cuitannya di akun @estiningsihdwi.

UU ITE juga sudah menjerat HP, (22 tahun). HP  adalah admin akun Instagram @muslim_cyber1 yang diciduk aparat karena mengunggah percakapan palsu antara Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan Kabidhumas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono.

HP ditangkap di kediamannya yang beralamat di Jalan Damai RT 09 RW 04 Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Seorang pemuda berinisial MS (24 tahun), warga Jalan Kemuning Desa Martajasah, Kecamatan Kota Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur, juga dijerat UU nomor 11 tahun 2008 tentang ITE, karena diduga telah menghina Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

Buni Yani juga terjerat kasus ujaran kebencian dan isu SARA. Dosen di London School of Public Relations (LSPR) itu, disangkakan telah melanggar pasal 28 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE karena memposting status bermuatan SARA melalui akun media sosial sehingga menimbulkan kebencian. Tindakan Buni Yani tersebut bahkan disinyalir menjadi pemicu diseretnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ke pengadilan dan harus mendekam di penjara.

Berdasarkan data-data di atas, adalah tidak masuk akal mereka tidak mengerti UU ITE. Atau, apakah mereka yakin bisa menyembunyikan diri dangan membuat akun palsu?

Sebagai pemain di dunia maya, rasanya juga tidak masuk akal mereka merasa bisa menyembunyikan diri.

Sebab, dalam dunia internet dikenal apa yang disebut dengan digital forensik sebagai salah satu cabang ilmu forensik yang berkaitan dengan bukti legal yang ditemui pada komputer dan media penyimpanan digital lainnya.  Sebagai penjual jasa berbasis internet, mereka diyakini mengerti digital forensik.

Baca juga: Metro TV Rame Saracen, Victor Laiskodat? Senyap

Keanehan-keanehan ini mengindikasikan bahwa mereka sesungguhnya mengerti apa risiko dari apa yang mereka lakukan.

Bahwa mereka tetap melakukan, mengindikasikan mereka nekat. Nekat untuk apa? Nekat merealisasi agenda mereka, yakni membuat kekacauan di Indonesia.

Mengapa mereka nekat? Ada dua kemungkinan. Pertama, karena unsur besarnya uang yang mereka terima dari jasa mereka. Kedua, karena ada yang membackingi.

Melihat jumlah uang yang mereka peroleh dari jasa mereka yang hanya mencapai puluhan juta, jelas tidak sebanding dengan hukuman yang akan mereka terima yakni 6 tahun penjara  atau denda Rp1 miliar.

Oleh sebab itu, aksi nekat mereka menyebarkan ujaran kebencian berbau SARA sepertinya karena ada unsur backing, ada orang yang menurut mereka akan kuat membackingi mereka.

Oleh sebab itu, perintah Presiden Jokowi kepada Kapolri Tito Karnavian agar mengusut tuntas kasus ini, termasuk mengusut siapa saja pemesan jasa mereka, menjadi sangat penting untuk mengungkap siapa backing atau orang yang berada di belakang mereka.

Pihak kepolisian harus mengusut tuntas kasus ini, dan mengurut tali temali mulai dari pemesan sampai orang yang paling jauh yang disebut sebagai otak penyebaran ujaran kebencian.

Pengusutan sampai ke otak-nya, sangat penting karena pilkada di 171 daerah akan dimulai Juni 2018 mendatang. Otak perlu ditangkap atau minimal dikenali, agar, tidak lagi muncul Saracen Saracen yang lain yang terus menyulut kekacauan politik berbau SARA yang berbahaya. [nn]

Scrool ke bawah untuk berita, info, artikel, unik dan seru lainnya di ujaran.com

Thanks for reading & sharing Ujaran

Previous
« Prev Post

0 comments:

Post a Comment