[ ujaran.com ] - Ximenez mengerti betul arti berkuasa. Sang kardinal dari Granada ini sontak mengambil kesempatan begitu dipercaya Raja Ferdinand dan Ratu Isabella dalam mengatasi keberadaan Moor, muslimin di sana, yang kian terdesak kedudukannya. Ajakan damai bagi kalangan Moor sebagaimana pihak Kerajaan sampaikan berubah menjadi Pembaptisan paksa. Cara sang kardinal sebenarnya tidak disetujui kawan seprofesinya. Apa daya, Ximenez punya kewenangan lebih.
Usahanya berbuah. Menurut laporan 18 Desember 1499, ia membaptis sekitar 3000 orang Moor dan mengubah masjid terkemuka di Granada menjadi gereja. Buku-buku Islam milik mereka yang dibaptis wajib diserahkan. Kemudian dibakar. Kecuali tema medis.
Perlawanan Muslimin bukan tak ada. Yang terkemuka dalam sejarah pada 1568 adalah perlawanan yang dipimpin Aben Humeya. Di mata Ximenez, perlawanan Moor disebut pemberontakan dan sebutan buruk lainnya.
"Kami bukanlah komplotan pencuri, melainkan sebuah anggota kerajaan!" Ujar Humeya membantah tudingan sebagai pemberontak.
Perihal Ximenez dan narasi keberingasannya ini diceritakan secara detail dan penuh horor oleh Henri Kamen dalam "Spanish Inquiaition" (edisi Indonesia oleh Dina Oktaviani dkk: "Para Algojo Tuhan", 2008).
Ximenez, sebagai pihak berkuasa, enteng saja menyebut lawannya dengan gelaran dusta. Karena ini yang ia butuhkan agar kian kuat memiliki alasan mengenyahkan orang Moor. Dan ini yang kemudian melahirkan banyak kekejian tak terperikan dalam sejarah.
Dari Ximenez kita mafhumi satu pola arogansi yang mungkin berulang di sekitar kita, pada masa kita bernapas. Tentang sebutan pemberontak, kaum radikal, pelaku persekusi dan otoriter tanpa welas kasih. Kaum yang tak berotak sebagai pelakunya. Mereka yang menuduh semua atribut ini seakan paling bersih dan menjunjung hak asasi.
Ternyata para penuding hanya mengulang watak Ximenez. Mereka-reka pihak lain sebagai sosok antagonis persekusi tapi dirinyalah pelaku utama yang tak tersentuh hukum. Bukan saja telah lakukan persekusi malahan inkuisisi! Kemanusiaan hanya manis di awal. Janji hormati sesama manusia punah oleh mesin algojo.
Ximenez, memang sudah berpulang dengan raga rusak berabad lampau. Ia pasti pertanggungjawabkan kekejiannya. Sama halnya di depan kita dengan mereka yang masih leluasa teriak, "Stop persekusi! Tindak pelaku persekusi!" Sayang, yang teriak penuh kebaikan ini justru saat yang sama pelaku utamanya. Menjadi algojo dengan aji kekuasaan di genggamannya.
Perbuatan Kardinal Ximenez sesungguhnya belum tentu wakili ajaran agamanya. Ia malah merusak hubungan agama yang sudah dibangun ketika Granada dipegang keamiran Muslim. Sayang, watak beringas mudah menuduh pihak lain kadung menjalar hingga kini. Diteladani lintas benua dan masa. Termasuk di tengah kita. Mudahnya orang-orang dekat kekuasaan dan aparat negara membicarakan tema persekusi, cemasnya adalah pengalih aktor persekusi dan inkuisisi sebenarnya.
Serupa dengan kurun pra-peristiwa 30 September 1965, ada kalangan dekat kekuasaan begitu mudah menilai pihak lain pelaku kekerasan dan tidak Pancasilais. Rupanya, mereka yang menuding pihak lain itulah aktor persekusi hingga inkuisisi. Sayangnya, "pola" meniru Ximenez ini luput kita saksamai. Malahan belakangan ini kejadian mengejar anggota dan/atau simpatisan pelaku persekusi tadi disebut algojo anti-kemanusiaan.
Oleh: Yusuf Maulana
Oleh: Yusuf Maulana
Thanks for reading & sharing Ujaran
0 comments:
Post a Comment